Aku ada disini saat ini, untuk apa? Mengapa aku harus terlahir, jika aku harus mati suatu saat nanti. Aku sudah bosan menjalani hidup ini. Semua yang kudapat hanya kepahitan, kesakitan, dan kebencian. Tidak pernah aku menjalani hari yang indah. Semua seolah tak berarti, hidup ini terasa hampa. Semua datang dan pergi begitu saja. Mengapa aku harus kehilangan orang-orang yang aku cintai? Waktu usiaku tujuh tahun, aku kehilangan ayahku, dan ibu menjadi seorang yang kasar karenanya. Dia menjadikan aku objek pelampiasan kekesalannya. Aku benci, sungguh benci pada ibu saat itu.
Saat aku mulai menginjak bangku sekolah dasar, aku tidak memiliki teman. Aku adalah anak terbodoh di kelasku, aku selalu menjadi bahan ejekan teman-temanku. Mereka selalu menghina dan mempermainkanku.
Hari demi hari, aku mengalami hal yang sama terus menerus, sampai suatu pagi, aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Namun ibu tetap memaksaku. Apa daya, aku yang masih kecil hanya dapat menangis dan dengan terpaksa menuruti keinginan ibu.
Tahun itu, saat pembagian raport, ibu memarahi dan memukulku. Saat itu, aku sangat takut, ibu yang seharusnya melindungiku, malah memukulku dengan segenap amarahnya. Ibu bukanlah sosok yang kukagumi, tapi kutakuti.
Rasanya aku ingin marah dan berteriak pada semua orang, aku benci mereka, aku benci semua orang. Tidak seorang pun yang benar-benar mengerti aku. Apa salahku?
Ibu selalu saja ingin aku menjadi seperti yang dia inginkan dan menuruti setiap perintahnya. Sedikit saja aku melakukan kesalahan, ibu akan memukulku tanpa ragu. Ibu ingin aku terus belajar dan belajar, tak pernah sekalipun aku memiliki waktu luang, merasakan kebahagiaan dalam masa kecilku layaknya anak kecil pada umumnya.
Aku selalu melewati hari-hariku dengan kesedihan dan penderitaan. Tiada hari tanpa tangis dan air mata. Aku hanya bisa pasrah dengan keberadaan dan kehidupanku.
Tahun demi tahun berlalu. Seperti biasa, semuanya terasa hampa, dan aku sudah terbiasa dengan hidup yang keras ini. Terbiasa tanpa cinta dan kasih sayang. Sulit rasanya untuk menerima kenyataan yang ada, tapi bagaimana pun juga, aku harus tetap menjalani hidup ini, walau aku sendiri tidak tahu mengapa dan kenapa aku menjalaninya.
Sampai suatu ketika saat aku duduk dibangku SMA, seorang pria mendekatiku. Aku sungguh tak menduga kalau aku bisa merasakan cinta. Tak pernah terlintas dipikiranku bahwa aku akan dapat menikmati rasanya pacaran. Betapa senangnya aku saat itu. Dalam waktu yang singkat aku telah memiliki pacar. Dunia terasa amat indah dan semuanya berjalan dengan indah.
Aku mencintai pria tersebut dengan sepenuh hatiku, karena dia adalah cinta pertamaku. Aku pikir dia juga mencintaiku seperti aku mencintainya, tapi ternyata tidak. Dia memutuskan hubungannya dengan ku demi wanita lain. Aku hanya sebuah persinggahan sementara baginya.
Kisah cinta pertamaku tidak berakhir bahagia, namun demikian aku senang pernah merasakan rasanya jatuh cinta. Walau berakhir dengan air mata, namun perpisahan itu bukanlah akhir dari segalanya, namun awal dari lembaran yang baru.
Tidak lama setelah kejadian itu, ibu meninggal. Sungguh malang nasibku, kini hanya tinggal aku sendiri. Ibu hanya meninggalkan adik-adikku yang masih kecil. Sebelum dia meninggal, dia berpesan padaku untuk merawat dan menjaga mereka.
Waktu itu aku sungguh binggung, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, tapi satu hal yang pasti, aku harus membiayai adik-adikku, sekolah dan biaya makan sehari-hari. Sulit bagiku untuk berpikir jernih saat itu. Rasanya aku ingin sekali lari dari kenyataan.
Aku berhenti sekolah dan bekerja demi kelangsungan hidup kami.
Hari demi hari terlewati, rasanya hidup menjadi semakin berat. Tidak ada yang dapat kulakukan selain berjuang.
Tak jarang aku marah pada adik-adikku, saat mereka menyisakan makanan, ataupun membuang makanan yang masih dapat dimakan. Aku akan marah jika melihat mereka membiarkan baju mereka berserakan. Bagaimana tidak? Aku sudah lelah bekerja, dan saat aku pulang, aku masih harus bekerja. Untuk beberapa waktu, aku sabar menghadapinya. Lama-lama aku mulai tidak tahan dengan sikap mereka dan aku pun menasehati mereka untuk lebih baik. Namun mereka sama sekali tidak berubah, malah menjadi semakin buruk. Lama kelamaan aku tidak dapat lagi menahan amrahku yang sudah cukup lama terpendam. Aku memukul dan memarahi mereka dengan maksud agar mereka bisa menjadi lebih baik.
Ternyata aku salah, mereka sulit untuk berubah. Aku tahu mereka hanya seorang anak kecil, tapi aku tidak suka dengan sikap dan kelakuan mereka. Aku pun memukul mereka. Tanpa sadar hal tersebut menjadi sebuah rutinitasku manakala mereka tidak mentaati peraturan yang kubuat. Lama kelamaan aku menjadi seperti ibu. Kadang aku memukul mereka untuk melampiaskan emosiku, walau pun sebenarnya mereka melakukan kesalahan kecil yang dapat ditoleransi.
Sebenarnya saat pertama aku harus memukul mereka, aku sakit, karena aku harus memukul orang yang aku sayangi. Namun lama kelamaan rasa sakit itu hilang dan berubah menjadi sebuah kesenangan dan pelampiasan. Aku sadar dengan apa yang sudah aku perbuat, namun aku tidak sadar dengan perubahan yang terjadi padaku. Aku merebut kebahagiaan masa kecil mereka seperti yang dilakukan oleh ibuku. Aku membuat mereka takut padaku. Aku terlihat buruk dimata mereka dan aku tahu bahwa mereka membenciku. Namun karena aku adalah pengganti orangtua, aku rasa sudah sewajarnya mereka mendengarkanku. Tanpa sadar aku mengulang kembali kisah yang tidak ingin aku ingat kembali.
Aku memberikan tekanan pada mereka tanpa kusadari. Aku membuat mereka mengalami kisah yang telah kualami sebelumnya. Keluarga, tempat yang seharusnya dapat memberikan pendidikan dan perlindungan, malah menjadi neraka bagi mereka.
Sering aku melihat mereka menangis, namun aku tetap tidak peduli, seolah hatiku terbuat dari batu.
Suatu ketika saat aku mengambil raport mereka, aku marah besar dan memukul mereka karena nilai mereka sangat buruk. Padahal aku tahu jelas apa yang mereka rasakan dan semua itu karena aku. Sama seperti yang aku alami dulu, aku tidak dapat belajar dengan baik karena waktuku dipenuhi oleh kebencian, ketakutan, imajinasi, dan kesedihan yang tercipta dari persepsiku tentang kehidupanku dan lingkungan sekitarku yang sulit menerimaku bahkan keluargaku. Dan kalau pun aku belajar, aku tidak pernah bisa fokus.
Semuanya terasa amat singkat dan waktu berjalan dengan cepat, kini mereka telah beranjak dewasa dan aku pun telah menikah. Bagiku, ini adalah lembaran baru.
Awalnya semua terasa indah, sampai suatu ketika aku kembali dikhianati. Aku sungguh terpukul. Aku semakin benci dengan semua orang dan kehidupanku, terutama suamiku yang seperti ayahku, meninggalkan keluarganya demi wanita lain.
Sejak saat itu, sulit bagiku untuk mempercayai orang lain. Semua orang adalah ancaman bagiku. Tiada kawan didunia ini, yang kuatlah yang berkuasa, Bunuh atau dibunuh. Cinta dan kasih sayang hanya ada dalam dongeng, hanya sekedar mimpi dan impian.
Namun suatu hari semuanya berubah, saat aku bertemu dengan cinta sejatiku. Dia mengajariku banyak hal.
Darinya aku sadar dan belajar bahwa sebenarnya setiap kehidupan sangat berharga. Kita ada disini untuk saling melengkapi.
Aku juga belajar bahwa penderitaan tidaklah berasal dari masalah yang datang, namun dari bagaimana kita mamandang dan mempersepsi, serta menghadapi masalah itu.
Kesalahan terbesarku adalah aku selalu menggantungkan harapan yang tinggi pada suatu hal dan ingin dicintai padahal aku tidak pernah memberikan cinta karena hari dan hidupku selalu dihiasi dengan keraguan, ketakutan, kesedihan, dan kebencian.
Hidup tidak membawa penderitaan, kitalah yang menciptakannya